Rabu, 15 November 2017. Kala itu, Usiaku genap 20 tahun. Aku adalah seorang mahasiswi aktif semester 5 Fakultas Hukum di Universitas Sriwijaya Kampus Indralaya. Kampus Indralaya terletak di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, sehingga membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk bisa pulang ke rumahku yang berlokasi di kota Palembang. Sebagai mahasiswa, Aku menyadari bahwa belajar di ruang kelas saja tidak cukup, maka kuputuskan untuk mencari ruang karya melalui organisasi dan kegiatan kemahasiswaan.
Setelah memutuskan untuk aktif dan terlibat dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi, sedikit demi sedikit, Aku belajar tentang mengelola amanah. Namun, meski telah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, ternyata Aku belum siap untuk mendapatkan banyak amanah di tahun 2017. Tahun 2017 adalah tahun keduaku di kampus itu, mungkin terlalu prematur bagiku untuk menghandle banyak hal dalam berbagai sektor. Aku bahkan tak percaya bahwa masa itu telah kulewati, masa dimana aku menjadi ketua kelas di beberapa mata kuliah, menjadi ketua kelompok dalam berbagai tugas, menjadi asisten dosen dalam penelitian, menjadi pengurus badan otonom/komunitas, mengikuti kompetisi, aktif didalam organisasi, diamanahkan menjadi penanggungjawab kegiatan, terlibat dalam kegiatan sosial, mulai membuka usaha, dan lain sebagainya. Sampai pada akhirnya aku tak memiliki waktu bermain dengan teman-temanku, jangankan untuk ikut agenda masak bersama, untuk mengobrolpun tidak. Sepertinya semua orang juga sudah memaklumi kebiasaanku, terkadang julukan “super sibuk” mereka sematkan dan kaitan dengan namaku. Dan aku tak pernah protes soal itu. Teman-temanku nyaris benar, aku bahkan merasa sudah mulai kelelahan dengan rutinitas super sibuk yang tiada henti-hentinya menghiasi hariku. Bahkan, aku seringkali pulang malam demi menyelesaikan semua tugas yang dibebankan dipundakku. Salahku saat itu hanya satu, tapi begitu fatal. Aku tak pernah benar-benar melibatkan Allah dalam setiap urusanku.
Seperti yang telah kuceritakan diatas, sejujurnya tahun 2017 adalah tahun emasku. Prestasiku baik, akademikku sangat stabil, karier organisasiku melesat, aku bahkan bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain. Dan aku lupa bahwa kekuatan, kecerdasaan, dan ketangguhan yang kudapatkan semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah pemberian Sang Maha Kuasa. Karena sejatinya manusia hanyalah makhluk lemah dan tidak berdaya.
Setelah menyelesaikan amanah kegiatan di sebuah organisasi kemahasiswaan tertinggi di kampus, tepat pada hari ulang tahunku, pukul 03.10 WIB, aku menyempatkan diri untuk sholat tahajud. Setelah sholat, aku menangis sejadi-jadinya, menyesali semua yang telah terjadi. Aku menyesal karena telah bermuka masam kepada beberapa orang yang tidak kusukai didalam kegiatan yang kuhandle, menyesal karena melukai perasaan seseorang yang pernah dengan tulusnya menjadi sahabatku, menyesal karena aku tidak bisa mengendalikan amarah yang ada didalam diriku, aku terus saja mengumpat, menyumpah-nyumpahi mereka yang telah berbuat dzolim kepadaku. Sampai pada pukul 04.00 WIB, aku memutuskan untuk terlahir kembali sebagai pribadi yang baru di Ulang Tahunku ke-20.
Namun, Aku menyadari bahwa untuk menjadi pribadi baru akan sulit apabila aku tetap berada pada lingkungan yang sama. Tepat pukul 09.00 WIB, aku memutuskan untuk keluar/berhenti dari organisasi kemahasiswaan tertinggi di kampusku itu. Dengan narasi yang cukup panjang dan permohonan maaf, Aku memutuskan untuk left group, dan melupakan semuanya. Aku mencoba berdamai dengan caraku sendiri namun, meninggalkan tanda tanya besar.
Setelah perkuliahan berakhir, aku duduk di pelataran kelas demi membalas beberapa ucapan, bahkan beberapa diantaranya membuat video khusus dan photo editan bertemakan “happy birthday”. Sedangkan teman-teman kelasku tak ada yang tau bahwa hari itu adalah hari ulangtahunku. Beberapa yang akhirnya tau karena postinganku pun menjadi sedikit heboh, lalu mendoakan dan mengucapkan selamat. Sampai akhirnya, aku kembali melanjutkan rutinitasku dengan motor kesayanganku. Pergi mengecek barang dagangan, lalu makan siang diluar sendirian. Entahlah, hari itu aku benar-benar ingin sendirian, ingin pulang ke rumah saja rasanya. Tapi, tugas kuliahku yang menempuk dan jadwal keberangkatanku ke Lampung yang tinggal 2 hari lagi berhasil mengurungkan niatku untuk pulang.
Kesore-hariannya, aku tetap mengikuti agenda organisasi, lalu pergi ke kantor untuk rapat dan memeriksa berkas persiapan komunitas sampai pukul 18.50 WIB. Memutuskan pulang ke rumah hunian yang lokasinya cukup jauh dari kampus. Lokasinya terletak di Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga, butuh 30 menit untuk sampai kesana, hanya saja aku biasanya menghabiskan 15 menit dengan skill bermotorku. Kali ini, Aku tidak pulang sendirian, Aku bersama mba Ayu. Beliau adalah mahasiswi semester 7 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aku dan mba Ayu bersama empat orang lainnya tinggal bersama di rumah hunian yang kami sebut "Muslimah House".
Dipertengahan perjalanan, mba Ayu mengajakku untuk mampir disebuah outlet makanan untuk membelinya. Makanan tersebut dibungkus rapi dan kamipun melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, Adzan Isya’ pun berkumandan. Biasanya aku memilih berlabuh, tapi tidak kali ini. Aku terus menggas motorku hingga melaju kian cepat. Tiba-tiba aku merasa mataku sedikit berat, mungkin karena kelelahan. Otakku pun terus berpikir sepanjang jalan, memikirkan hal apasaja yang akan aku lakukan setibanya di rumah hunian. Mulai dari mencuci baju, membuat tugas resume, merekap uang dagangan dan lain sebagainya. Namun sayang seribu sayang, kami tak benar-benar tiba dirumah malam itu. Ketika motorku melaju dengan cepat, aku mulai memainkan skill bermotorku, namun kali ini aku salah perhitungan. Aku menyalip pada saat yang salah sehingga posisi kami terjebak oleh mobil box panjang dan sebuah mobil pick-up yang membawa ikan-ikan. Percaya atau tidak, dalam kondisi seperti itu, otakku masih sempat berpikir. Cahaya lampu yang terus menembus kaca helmku, membuat aku memutuskan untuk menabrak mobil pick-up pembawa ikan-ikan pasar itu. Karena jika aku membenturkan diriku ke samping, maka aku akan kehilangan lengan kiriku apabila aku tetap hidup. Maka kupilih plan B, aku terus melaju, namun mengurangi kecepatan karena sudah tidak mungkin berhenti dan juga sekaligus membunyikan klackson seolah meminta agar mobil pick-up itu juga mengerem. Duaar! Tumburan itu terjadi begitu cepat. Aku dalam keadaan yang sangat sadar. Entah bagaimana prosesnya, terlalu banyak cahaya dan reruntuhan kaca. Helmku bahkan pecah dan terbelah dua. Aku terlempar dua meter dari lokasi kejadian. Alhasil, Motorku rusak parah.
Aku masih dalam keadaan sadar, namun tidak bisa bangkit seperti biasanya, karena ini bukan kecelakaan pertama. Hanya saja bisa disebut sebagai kecelakaan terparah. Akupun mencoba menggerakkan tubuh, namun itu sia-sia. Aku hanya merasakan sakit.
Tubuhku akhirnya digendong ketepian jalan, ada ibu-ibu pedagang yang memberi minum setelah aku memintanya. Aku belajar P3K dari PRAMUKA, maka aku sangat butuh minum saat itu agar tidak ada syarafku yang rusak. Aku sempat meminta seseorang untuk membuka tasku, mengambilkan handphoneku. Aku mengetik dengan susah payah di sebuah grup demi mengabari kondisiku, setelah itu handphoneku dimasukkan lagi kedalam tas.
Setelah tragedi kecelakaan itu, Aku dan mba Ayu langsung di bawa ke Puskemas terdekat. Sayangnya, alat kesehatan disana sangatlah terbatas. Aku masih dalam keadaan yang cukup tenang, hanya sesekali mengeluarkan air mata karena memang sangat sakit. Aku tidak mengalami sedikitpun pendarahan. Hanya ada sedikit benjolan dikepala dan tentunya dislokasi di beberapa bagian tulang. Dengan berat hati, Aku harus menerima kenyataan bahwa kaki kananku patah retak dibagian tulang keringnya. Dan dislokasi hebat di bagian tulang pergelangan tangan kiriku yang menyebabkannya patah dan posisinya merenggang cukup jauh. Untungnya tulang patah itu tidak keluar, hanya menusuk kulit bagian dalam saja.
Sedangkan mba Ayu juga mengalami memar-memar di sekujur tubuhnya, harus mengalami beberapa jahitan dikepalanya. Beruntungnya mba Ayu bisa ditangani dengan baik disana. Lalu dibawa ke rumah Gea untuk dirawat lebih lanjut.
Setelah pemeriksaan, polisi dengan cepat mendatangiku, menayakan kondisiku. Tapi lagi-lagi itu bukan waktu yang tepat bagiku untuk bercerita banyak hal. Aku butuh penanganan. Nasib baik, beberapa orang mulai berdatangan, mengusulkanku untuk mengabari orang tua, tapi aku menolak. Terlalu beresiko mengabari mereka tanpa daya upaya maksimal dariku. Puskesmas lalu memberikan rujukan ke RM Mahyuzzahrah, untuk pertama kalinya aku merasakan suasana berada didalam sebuah Ambulans, beberapa sahabatku juga ikut serta.
Setibanya di RM Mahyuzzahrah, Ada banyak sekali orang yang telah menunggu kami disana. Beberapa diantaranya sangat terkejut, dan beberapa lainnya hanya ingin tau keadaan karena sesungguhnya tidak pernah mengenalku. Karena begitu banyak orang, aku memilih tak menghiraukan apapun, kecuali rasa sakitku. Aku masuk ke ruang IGD, penanganan pertama mereka adalah membersihkan lukaku, memberikan alkohol pada benjolan di keningku. Memasangkan gift di kaki kanan dan tangan kiriku. Penanganan itu membuatku lebih baik.
Setelah itu, Aku memberanikan diri menelpon Ayah. Yang aku tau, Ayahku selalu tenang dengan setiap kemungkinan dan situasi terburuk, itulah kenapa aku memilih menghubunginya. Setelah berbincang dengannya, Ayahku memintaku untuk di bawa ke RSMH kota Palembang.
Beruntungnya, ada kakak tingkatku yang berbaik hati, mobilnya bisa digunakan untuk mengantarku. Kini suasananya tak lagi ramai. Hanya ada kami berlima didalam mobil itu. Aku, Kak Ijal (Presma pada masanya), Kak Jarnawi (Menteri pada masanya), seorang ustadz yang tinggal di pesantren, dan tentunya sahabat baikku, Halah. Mungkin orang akan bertanya-tanya kenapa aku sampe saat ini begitu dekat dengan Halah? Sebenarnya ada banyak alasan, salah satunya karena ia pernah menemaniku di masa masa tersulitku. Dan kusimpulkan bahwa ia adalah salah satu orang yang memang layak dijadikan sahabat.
Satu jam setengah kami habiskan untuk menempuh perjalanan, karena saat itu mobil harus melaju dengan sangat lamban agar tulangku tidak bergeser dan semua orang di dalam mobil tampak sangat mengkhawatirkan keadaanku. Mereka khawatir aku akan mati di dalam perjalanan. Maka si ustadz selalu mengingatkanku untuk tetap melek dan tidak tidur ataupun pinsan. Semua orang didalam mobil terlihat panik, akupun demikian. Aku bahkan mulai pasrah.
Setibanya di RSMH Palembang, kedua orangtuaku sudah disana, beberapa temanku juga memenuhi ruang IGD. Aku diberi obat bius, diberi selang pernafasan. Lalu menunggu tindakan selanjutnya. Pukul 02.00 WIB, untuk pertamakalinya aku di rongten. Ruangan itu dipenuhi alat-alat kesehatan. Hasil rongtennya mengharuskanku untuk operasi pemasangan pen dibeberapa bagian. Pukul 05.00 WIB, aku masih terlantar dan belum mendapatkan ruangan. Sejujurnya proses administrasi dan layanan kesehatan di negara kita memang cukup buruk, hal ini membuatku harus tidur tanpa penanganan apapun. Pukul 05.30 WIB, setelah menemui beberapa temannya dan juga mengurus banyak hal, Ayahku menemuiku dan sedikit memberontak, marah kepada pihak RS yang tidak tanggap. Pukul 06.00 WIB, aku akhirnya mendapatkan kamar, sayangnya tangan kiriku sudah tidak bisa digerakkan, dengan sembarangan dokter muda itu bilang “wah ini harus dipotong”, ayahku yang sedang kesal, dibuat gusar olehnya. Nyaris baku hantam terjadi disana. Lagi-lagi Allah maha baik, ada seorang pasien dari daerah datang, ia mengalami kondisi yang sama denganku, 2 minggu yang lalu ia jatuh dari pohon kelapa, tangan dan kakinya patah dan sampai hari ini jadwal operasinya belum tiba. Alasan ini cukup meyakinkanku untuk bilang ke ayah, “Ayah, kita ke pengobatan alternatif aja yah”. Dan ayahku pun langsung sepakat. Ayah harus menandatangani surat keluar paksa RS.
Akupun langsung dibawa ke seorang nenek ahli patah. Kupanggil ia Nek Subah.
Setibanya aku dirumahnya, ia langsung mengurutku, merapatkan tulang-tulangku yang bergeser dengan apison dan dibalut rapat dengan kain basah serta jampi-jampiannya dan tentunya dibalut dengan bambu agar tidak goyang. Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak menjerit. Bukan karena tidak sakit, hanya saja aku mengerti bahwa tragedi menguras air mata ini sepenuhnya salahku dan aku tidak ingin membuat orangtuaku semakin terluka ketika aku menjerit. Demi melihat wajah mereka tenang, aku katakan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku minta maaf dan berterimakasih. Ibuku tidak tahan menahan tangis, aku hanya tersenyum getir. Sedangkan ayahku lebih tak habis pikir. Tapi semua dari kami baik baik saja.
Aku menerima kenyataan bahwa aku telah menjadi gadis cacat dan aku tidak bisa melakukan apapun dengan tanganku sendiri. Aku telah menjadi manusia yang sangat bergantung pada orang lain. Di sepuluh hari pertama, teman-temanku, dosenku, sahabat-sahabatku, keluarga besarku, tetanggaku, semuanya datang untuk menjenguk. Semua keadaan terlihat stabil, hanya beberapa keluhan dariku karena enggan minum obat dan jamu tradisional yang sangat pahit. Kecuali pada malam kedua. Aku mengerang takbisa tidur, lagi-lagi Ibuku sudah menangis. Sebenarnya jika memang ada malaikat maut kala itu, mati adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku. Minimal aku bisa berhenti membebani orang lain.
Malam-malam sulit telah kulalui, akupun menjalani pengobatan dengan maksimal, pola makanku pun sangat dijaga, aku mengkonsumsi gelly gamat, makan jeruk, ikan gabus dan semua makanan yang bernutrisi lainnya. Selain itu, Aku menyibukkan diri hanya dengan membaca buku, sesekali menonton dan lebih banyak merenung atas kesalahan. Aku paham tragedi ini adalah peringatan dari Allah SWT. Akankah aku berhasil melaluinya?
Untungnya tragedi itu terjadi pada pekan masa tenang sebelum ujian akhir semester. Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu? Tepat sekali. Aku ingin berhenti kuliah. Lagipula mungkin pihak kampus tak akan membiarkanku ujian dirumah. Selain karena aku bukanlah anak pejabat, statusku sebagai mahasiswa penerima manfaat beasiswa tidak memperbolehkanku untuk stop out saat itu. Akupun langsung menghubungi dosen Pembimbing Akademik (PA)-ku, menyampaikan keinginanku untuk berhenti kuliah. Sontak, dosen PA-ku sangat terkejut, ia sangat melarang keputusanku. Ia memberi saran agar aku tetap ikut ujian dengan menggunakan kursi roda dan ia bertanggung jawab penuh terhadap proses ujianku di kampus. Setelah percakapan virtual itu berakhir, keesokan harinya pak dekan diwakili kepala kemahasiswaan berkunjung menjengukku.
Awal Desember 2017, seperti mahasiswa lainnya, akupun mengikuti ujian akhir semester. Aku diantar Ayah menggunakan mobil dan ditemani Ayuk kandungku. Enam hari selama dua minggu, aku mengikuti UAS dengan baik, meskipun pada hari pertama aku sempat menangis karena aku merasa orang-orang, baik sahabat maupun pegawai memperlakukanku dengan spesial, dan hal itu membuatku benar-benar hancur karena merasa sangat lemah. Bayangkan saja, untuk ke kelas, aku harus didorong oleh sahabatku, ditemani sampai selesai UAS, diberikan kelonggaran waktu dan ditempatkan ditempat yang nyaman ketika ujian. Sedangkan sebenarnya aku bisa tetap ujian sama seperti yang lain, aku bahkan bisa menyelesaikan soal dengan baik meskipun dalam keadaan cacat dan terbatas sekalipun.
Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Dari 8 Matakuliah, 7 Matakuliahku mendapatkan nilai A dan 1 Matakuliahku mendapatkan nilai B. Nilai yang sangat bagus untuk orang cacat pada masa itu.
Entah karena kasihan atau apa, sepertinya Allah berbaik hati padaku.
Keluargaku mendukungku penuh, sahabat-sahabatku selalu berada didekatku, menjagaku sebisa mungkin, dosen-dosenku selalu menyemangati, aku bahkan merasa tidak sendirian pada masa sulitku. Teman-teman organisasiku terdahulupun terus memberikan dukungan dan berharap aku cepat pulih.
Pada semester 6, aku harus mencari kostan didekat kampus, yaitu Bintang Kost agar memudahkan mobilisasiku.
Beruntungnya, Ayukku mengurusi semua kebutuhanku dengan baik. Orangtuaku rutin setiap minggu mengontrol keadaan dan memenuhi semua kebutuhanku. Akupun mendapatkan lingkungan yang baik dikostan. Setiap pagi, Aku pergi ke kampus diantar dengan motor dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan menuju kelas. Rutinitasku hanya sebatas kampus dan kostan. Tidak adalagi organisasi apapun.
Setelah tanganku pulih, aku mulai sesekali kembali mendesain dan mengikuti rapat online. Namun lebih banyak membaca buku, berlatih berjalan, melakukan terapi mandiri dan memperbanyak ibadah.
Tak jarang temantemanku juga berkunjung, sekedar melihat keadaan maupun menginap di kostanku untuk bermain bersama.
Pada pertengahan April, untuk pertama kalinya aku melepas tongkat. Aku bisa kembali berjalan tanpa alat bantu, hanya saja tidak bisa cepat-cepat. Aku sering kelelahan dalam 5-10 langkah dan banyak beristirahat. Hari itu, Ayukku Sempro, bersama tiga sahabatku, aku menghadiri agendanya dan memberikan sedikit kejutan.
Awal Mei, perkuliahan berakhir. Akupun pulang ke Palembang dan menyelesaikan masa sewaku di Bintang Kost. Sepulangnya ke rumah, Aku tetap melakukan terapi ringan dan berlatih berjalan agar normal seperti sedia kala.
Bulan Agustus, Alhamdulillah aku dinyatakan sembuh total. Sudah bisa melakukan banyak hal sendiri.
Setelah sembuh, awalnya aku tidak ingin kembali aktif di organisasi manapun. Aku lebih fokus memperdalam pelajaran agama, mulai kembali ikut halaqoh secara rutin tanpa kabur-kaburan, mengikuti kegiatan sosial, mencari kegiatan seperti ODOJ dan Belajar Tahsin, hanya saja waktu itu kebetulan sedang Oprec Komunitas basis Al-Qur’an. Akhirnya akupun ikut mendaftar, niat awalnya hanya ingin belajar. Tapi Qodarullah, aku diamanahkan menjadi Sekretaris Umum di Komunitas tersebut bersama sahabatku yang juga diamanahi sebagai Bendahara Umum. Setelah aktif dikomunitas itu, aku mulai kembali ke kampus dan menuntaskan amanah-amanah kampus yang sempat aku tinggalkan. Pasca sembuh, aku pun langsung mengadakan acara syukuran kecil-kecilan. Dan alhamdulillah banyak sekali temanteman yang hadir membersamai.
Dosenku pun, menyambut baik kesembuhanku, mengajak kami untuk merayakannya. Tidak hanya untuk kesembuhanku, tapi untuk semua prestasi anak PAnya yang hampir semuanya adalah lulusan terbaik di Fakultas kami.
Kini, aku merasakan banyak sekali hikmah dibalik tragedi menguras air mata itu. Paling tidak tragedi itu telah merubahku, membuatku lebih semangat beribadah, bertekad menjadi manusia yang lebih bermanfaat melalui kegiatan-kegiatan sosial, berupaya membantu orang lain sebisa mungkin, meluangkan waktuku untuk keluargaku dan sahabat-sahabatku, menjadi orang yang tidak sombong dengan setiap prestasi dan pencapaian karena semuanya hanyalah titipan dan sewaktu waktu Allah bisa merenggutnya tanpa peduli apakah kita siap kehilangan semuanya.
Setelah kondisi stabil, aku kembali melanjutkan perkuliahan, terpilih menjadi salah satu ketua kelas PLKH, menjadi manusia yang lebih sosialis, mengikuti pemilihan duta dan terpilih menjadi salah satunya, mengikuti beberapa kegiatan sosial, kembali mengcreate wacana yang sempat kami layangkan ditanggal 13 November 2017, lalu dengan begitu mudahnya Allah naikkan derajatku, aku diberikan kesempatan berbagi ilmu melalui seminar ataupun pelatihan, aku akhirnya terpilih menjadi penerima manfaat beasiswa aktivis nusantara yang kuimpikan. Dan aku tau, "ketika kita mengejar akhirat, Insyaallah dunia akan mengikuti dengan sendirinya".
Sehingga aku merasa bahwa Allah memberikan ujian kehidupan agar aku menjadi pribadi yang lebih baik dan terus berproses. Karena seperti yang diterangkan di dalam Al-Qur’an, bahwasanya selalu ada kemudahan dalam kesulitan dan Allah tidak akan menguji hambahNya diluar batas kemampuannya.
Dan dari segala hikmah yang kupetik, kini aku merasa hidupku menjadi lebih berkah setelah aku berupaya sebaik mungkin untuk melibatkan Allah dalam setiap prosesku, termasuk dalam menulis cerita ini.
Aku ingin mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT, yang mungkin tanpa tragedi ini, aku tidak akan pernah menemukan titik balikku. Dan yang tersayang, keluargaku, terutama Ayah, Ibu dan Ayuk-Ayukku, terimakasih atas kasih sayang dan dukungan yang berlimpah. Aku juga ingin berterimakasih kepada semua pihak yang sudah membersamaiku dalam masa-masa tersulitku itu.
Hari ini, tanggal 6 April 2020, Aku telah lulus sarjana sebagaimana yang orangtuaku harapkan. Aku berhasil menjadi lulusan terbaik pada masaku, bukan karena kecerdasan apalagi karena kehebatanku, melainkan karena Allah begitu mengasihiku.
Komentar
Bru tau mbak punya pengalaman gni sebelum angkatan kami 2017 mengenal Bo Ramah
Aku mau memberi saran, krn ada yg kata yang sangat mengganggu mataku. Ndak sesuai dgn PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, dulu EYD).
Kata mengelolah, harusnya mengelola. Dan kata trapih, harusnya terapi.
Terimakasih.
Oh ya, satu lagi. Perhatikan juga bagaimana peletakkan imbuhan di-.