Pernah dengar istilah Panic Buying? ya, kalo diartikan secara harfiah maka artinya adalah membeli dalam keadaan panik. Panic Buying adalah tindakan membeli barang dalam jumlah besar untuk mengantisipasi suatu bencana, setelah bencana terjadi, atau untuk mengantisipasi kenaikan maupun penurunan harga suatu barang.
Fenomena panic buying memang seringkali terjadi akhir-akhir ini, terutama di masa pandemi.
Dan yang paling hangat adalah panic buying minyak goreng.
Lonjakan harga minyak goreng yang cukup signifikan pada setiap merek produk minyak goreng di akhir tahun lalu hingga awal tahun ini memang cukup meresahkan masyarakat. Pasalnya harga minyak goreng yang biasanya hanya berkisar Rp.12.000-Rp.13.000 sontak melonjak naik menjadi Rp.18.500-Rp.20.000/liternya. Kenaikan harga ini sangat berdampak, terutama bagi para pelaku usaha yang menjadikan minyak goreng sebagai bahan baku usahanya.
Fenomena panic buying ini merupakan perwujudan dari insting herding (herd instinct) yang terjadi akibat pengaruh ikut-ikutan orang lain di sosial media. Misal, di sosial media menampilkan informasi promo minyak goreng.
Promosi ini akhirnya membuat banyak orang mempersiapkan diri untuk membeli minyak goreng dalam jumlah banyak di tempat dan waktu yang telah ditetapkan oleh penyelenggara. Bahkan ada yang rela mengantri panjang, berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga Rp.14.000,-. Takhanya di pasar, minyak goreng dengan harga 14K juga telah dijual dibeberapa minimarket dalam jumlah tertentu. Bayangin deh kalo se-RT/se-RW/se-Kelurahan/bahkan se-Kecamatan dateng bareng-bareng?
Kira-kira panic buying itu positif atau negatif yaa?
Baiklah, mari kita urai bersama-sama.
Layaknya sebuah fenomena pada umumnya, panic buying tentu punya sisi positif dan sisi negatifnya.
Untuk mengetahui sisi positifnya, maka penting untuk kita mengetahui penyebabnya. Selain disebabkan oleh herd instinct, penyebab lain dari panic buying adalah berakar pada kondisi psikologis orang-orang yang melakukannya. Bisajadi alasannya karena ingin menekan risiko yang terjadi pada dirinya. Misalnya, seorang pelaku usaha kuliner akan langsung membeli minyak goreng dalam jumlah yang banyak untuk menekan risiko kerugian pada usahanya dan juga untuk menjaga cash flow usahanya agar tetap aman. Atau Ibu-Ibu rumah tangga yang memiliki uang belanja pas-pasan namun kebutuhan sehari-harinya banyak (anggota keluarganya banyak/ada banyak orang yang harus diberi makan). Dua hal ini tentu menjadi positif jika dipandang dari sisi psikologis-sosiologis kebutuhan.
Namun, apabila ditinjau dari sisi negatifnya, maka Panic Buying sangat meresahkan. Perwujudan panic buying dilapangan digambarkan secara bar-bar dan justru berpotensi menimbulkan kerugian lainnya.
Contohnya seperti gambar dibawah ini.
Kaca yang pecah ini diakibatkan karena over-capacity. Masyarakat rela berdesak-desakan, sikut-menyikut, dorong-mendorong dan jatuh-menjatuhkan. Sehingga yang tadinya ingin mendapatkan keuntungan malah justru harus menanggung kerugian.
Intinya, panik bukanlah sikap yang baik. Kepanikan akan membuat kita menjadi tidak jernih dalam bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, tetap tenang dan tunggu kebijakan dari pemerintah.
Toh, hari ini resmi diumumkan bahwa Minyak Goreng disubsidi selama 6 bulan.
So, gakusah panic buying!
Gakusah juga panik yang lain.
Tenang aja, ada Allah kok. (nov).
Komentar